Daftar isi
3.
Model iklim
7.
Lihat pula
8.
Referensi
9.
Pranala luar
Pemanasan global
Dari Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anomali suhu
permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada
suhu rata-rata dari 1940 sampai 1980.
Pemanasan global (bahasa Inggris: Global warming) adalah suatu proses
meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan
Bumi.
Suhu
rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C
(1.33 ± 0.32 °F)
selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu
rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh
setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional
dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan
yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model
iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan
meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990
dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan
skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta model-model sensitivitas
iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode
hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus
berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor lautan.
Meningkatnya
suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti
naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang
ekstrem,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser,
dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa
hal yang masih diragukan para ilmuwan
adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa
depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut
akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih
terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan
yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut
atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian
besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Penyebab pemanasan global
Efek rumah kaca
Segala
sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek,
termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi,
ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali
sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap
terperangkap di atmosfer Bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air,
karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana
yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan
memantulkan kembali radiasi
gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan
di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga
mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas
tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer,
semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah
kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena
tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar
15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C
(59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi
hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi
sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.
Efek umpan balik
Anasir
penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada
awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena
uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah
uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air.
Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat
gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut
di udara, kelembapan
relatif udara hampir
konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2
memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan
balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini.
Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi
infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek
pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar matahari dan radiasi
infra merah ke angkasa,
sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan
pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu
seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit
direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila
dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim
(sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik
awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan
dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam
Laporan Pandangan IPCC ke empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo)
oleh es.[4] Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub
mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es
tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air
memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan
es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es
yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan
balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari
melunaknya tanah beku (permafrost)
adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es
yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan
lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini
diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi
pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]
Variasi Matahari
Variasi Matahari selama 30 tahun
terakhir.
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan
tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.
Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa
pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada
beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan
dari Duke University memperkirakan bahwa matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata
global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980
dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan
pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek
gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol
sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan
meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun
2006,
sebuah tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Jerman
dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya
peningkatan tingkat "keterangan" dari matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi
peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama
30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan
global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
pemanasan global dengan variasi matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output
matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]
Mengukur pemanasan global
Hasil pengukuran konsentrasi CO2
di Mauna Loa
Pada awal 1896,
para ilmuwan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat
meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada
program penelitian global yaitu International Geophysical Year,
mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung
Mauna Loa di Hawai.
Hasil
pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan
bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuwan
juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka
tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu terus bervariasi dari waktu
ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun
pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu
kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an
agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik
ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun
cuaca pada awalnya,
terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran suhu akan
dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga
panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data
diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit.
Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen
permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini
menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad
ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir
terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990,
dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan
yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan
bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat
Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama
disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan suhu rata-rata global
akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun
1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun
konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode
tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya
kembali.[15]
Jika emisi
gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi,
konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun
sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan
risiko populasi yang sangat besar.
Model iklim
Perhitungan
pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim
berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan
tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.
Para ilmuwan
telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan
prinsip-prinsip dasar dinamika fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa
penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini
memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca pada masa depan, sensitivitas
iklimnya masih akan
berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan
memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan
pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C
hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan
2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab
perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang
teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami
maupun aktivitas manusia.
Model
iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu
global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi
semua aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang
terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau
aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun
1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian
besar model-model iklim, ketika menghitung iklim pada masa depan, dilakukan berdasarkan
skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari laporan Khusus terhadap
skenario emisi (Special Report on Emissions Scenarios/SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung
dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2
SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2).
Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[18][19][20]
Pengaruh
awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap
model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan
dalam menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai
apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung
dari variasi Matahari.
Dampak pemanasan global
Para ilmuwan
menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan
telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca,
tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Iklim mulai tidak stabil
Para ilmuwan
memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi utara (Northern Hemisphere) akan memanas
lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih
sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang
sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada
pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit
serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa
area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah
yang hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih banyak air yang menguap dari
lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembapan tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih
jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air
merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang
lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara
rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. Curah
hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun
terakhir ini[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih
cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering
dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang
berbeda. Topan
badai
(hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi
lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang
sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan
lebih ekstrem.
Peningkatan permukaan laut
Perubahan tinggi
rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara
geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan
juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi
permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub,
terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah
meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 –
88 cm (4 - 35 inci) pada abad ke-21.
Perubahan
tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai.
Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda,
17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan
meningkat. Ketika tinggi lautan
mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan.
Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi
daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan
evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan
sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai.
Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di
area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan
menutupi sebagian besar dari Everglades, Florida.
Suhu global cenderung meningkat
Orang
mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak
makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa
tempat. Bagian selatan Kanada,
sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan
dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering
di beberapa bagian Afrika
mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi
dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan
penyakit yang lebih hebat.
Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini
karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global,
hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.
Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat
lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan
menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara
atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau
lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu
secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Dampak sosial dan politik
Perubahan
cuaca dan lautan dapat
mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat
stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen
sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut
akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir,
badai
dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat
pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran
ekosistem dapat memberi
dampak pada penyebaran penyakit melalui air (waterborne
diseases) maupun
penyebaran penyakit melalui vektor
(vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian demam berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk
ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan iklim ini maka ada beberapa
spesies vektor penyakit (eq aedes aegypti), virus, bakteri,
plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu
yang target nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa
ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah
dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak
perubahan iklim (climate change) yang bisa berdampak kepada peningkatan
kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau
panjang/kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi
Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease.
Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak
terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran
pernapasan seperti asma, alergi,
coccidioidomycosis, penyakit jantung dan paru
kronis, dan lain-lain.
Perdebatan tentang pemanasan global
Tidak
semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari
pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah suhu
benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi
tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan
pada masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang
menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen
bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan suhu. Mereka juga menunjukkan
fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa
daerah.
Para ilmuwan
yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang
masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku
sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti
selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an.
Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung
adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya
pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat,
ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol,
memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi
karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih
bersih.
Keadaan
pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi
disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuwan telah lama
memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada
tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisis baru tentang
suhu air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun
terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan
pemanasan: suhu laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius
(0,3 derajat Fahrenheit) daripada suhu rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit
perubahan tetapi cukup berarti.[22]
Pertanyaan
ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000,
sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk
membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran
troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara
jelas.
Pengendalian pemanasan global
Konsumsi
total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun.
Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada
yang dapat mencegah pemanasan global pada masa depan. Tantangan yang ada saat
ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk
mencegah semakin berubahnya iklim pada masa depan.
Kerusakan
yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi
dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya,
pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih
tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap
menjaga koridor (jalur) habitatnya,
mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies
dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke
habitat yang lebih dingin.
Ada dua
pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain.
Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua,
mengurangi produksi gas rumah kaca.
Menghilangkan karbon
Cara yang
paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan
menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan
cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya.
Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di
banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan
kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan
pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini
adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin
bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung.
Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak
untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas
ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan
pengeboran lepas pantai
Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak
dapat kembali ke permukaan.
Salah satu
sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi.
Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi
jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon
dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila
dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan
keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
Persetujuan internasional
Kerja sama
internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Pada tahun 1992, pada Earth
Summit di Rio de Janeiro, Brazil,
150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam
suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang,
160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian
ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri
yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk
memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990.
Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan
yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah
tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen;
dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam
pengurangan emisi gas.
Akan
tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia
juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani
dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Protokol Kyoto tidak berpengaruh apabila negara-negara industri yang
bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan
itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk
berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak
orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan
segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena
negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan
menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol
ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak,
industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung
pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi
yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 miliar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya
sebesar 88 miliar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk
penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri
yang lebih effisien.
Pada suatu
negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh
walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda,
negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil
mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam
mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah
tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu
yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib
diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para
negoisator merancang sistem dimana
suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil
keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain.
Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit
meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda,
dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang
lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila
sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi
gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5
persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi
ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
![]() |
No comments:
Post a Comment